Budaya Salah Kaprah Hooliganisme di Indonesia
98
1
Nihil.
Tapi tahukah mereka apa arti sebenarnya dari kata Hooligan tersebut? Kata Hooligan sendiri tidak hanya berfungsi menjadi kata benda (noun) saja yang berarti pendukung fanatik tim Inggris. Dalam konteks yang lebih luas, Hooligan bisa pula berfungsi menjadi kata sifat (adjective), kata kerja (verb), dan kata keterangan (adverb). Semua kelompok kata tersebut mewakili perilaku, sifat, pekerjaan atau perbuatan, dan keterangan atau keadaan yang menggambarkan perilaku tidak sportif, tidak jantan, tidak mau mengakui dan menerima kekalahan, anarki, destruktif, serta fanatisme buta. Jadi, Hooligan bukan hanya ada dalam kamus persepakbolaan, melainkan juga dapat diadopsi dalam realitas yang lain, termasuk politik. Hooliganisme diartikan sebagai tindakan atau perilaku kekerasan dan destruktif. Istilah Hooliganisme sendiri sudah muncul sejak akhir abad ke 19 tepatnya pada 1898 di Inggris.
Hooligan sendiri mengandung artian fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotip supporter dari Negara Inggris, tetapi saat ini telah menjadi sebuah fenomena global. Sebagian besar dari para Hooligan ini merupakan para back-packer yang sangat berpengalaman dalam bepergian. Mereka sering menonton pertandingan yang sangat beresiko besar. Banyak dari mereka sering keluar masuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik dengan supporter musuh maupun dengan pihak keamanan sebuah wilayah. Untuk mengantisipasi adanya kerusuhan, gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan dengan sangat matang untuk sebuah perkelahian. Mereka sangat jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim idolanya, dan memilih berpakaian asal-asalan agar tidak terdeksi oleh pihak keamanan dan pendukung musuh. Para Hooligan ini biasanya tidak duduk dalam satu tempat bersama-sama, tetapi berpencar-pencar. Dan satu yang pasti tujuan utama para Hooligan ini hadir dalam sebuah pertandingan yaitu ingin membuat sebuah keributan, dan menonton sebuah pertandingan menjadi tujuan mereka selanjutnya.
Lalu apakah keadaan ini sejalan dengan tingkah laku para supporter di Negeri ini? Jawabannya sudah pasti sangat jauh sekali. Dalam kamus para Hooligan, kehadiran mereka di arena pertandingan mungkin hanya menyanyikan dan mengumandangkan chants-chants tim kebangsaan mereka dan tidak pernah mengenal dengan yang nama nya tetabuhan tambur dan tari-tari an di dalam stadion layaknya supporter di Indonesia. Selain itu pun para Hooligan tidak mengenal dengan yang namanya flair berwarna dan berasap tebal atau beraneka ragam petasan yang selama ini sering terlihat dan menjadi ciri khas stadion-stadion di Indonesia (karena hal ini merupakan ciri khas para Ultras).
Sangat disayangkan Hooligan di Indonesia saat ini lebih diartikan menjadi sebuah trend bahkan fashion, karena namanya yang sangat keren dan kebarat-baratan. Mereka cenderung menjadi seorang fashion victim/poser, yang memakai sesuatu tanpa tau maksud dan tujuan dibalik pakaian/atribut yang mereka gunakan. Memakai tshirt dengan kata-kata yang super menakutkan dan menunjukan seorang Hooligan sejati, tetapi untuk melakoni laga away saja harus berfikir berpuluh-puluh kali karena kota A dan B bukan bagian dari teman kelompok mereka. Apakah seperti ini layak menyandang ‘gelar’ seorang Hooligan? Inilah budaya salah kaprah yang terjadi dikalangan para pecinta sepakbola tanah air selama ini. Kenapa kita tidak percaya diri untuk memakai dan mengembangkan culture kita sendiri yang sudah turun menurun dan cenderung bangga memakai culture luar. Sudah saat nya kita semua kembali pada culture budaya kita sebagai orang timur, termasuk dalam hal menjadi seorang supporter sepakbola. Mengapa harus bangga menggunakan kata-kata Hooligan, Ultras, atau sejuta kata keren lainnya yang jelas-jelas bukan milik kita. Perkenalkan budaya kita pada dunia bukan kita yang menjadi korban budaya dunia.
0 komentar:
Posting Komentar