Mutasi Genetik Orang Tibet Hanya Butuh 3.000 Tahun

Mutasi Genetik Orang Tibet Hanya Butuh 3.000 Tahun

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
<p>Your browser does not support iframes.</p>


img
Ilustrasi (foto: Sciencedaily)
Oakland, Mutasi genetik membuat orang Tibet mampu bertahan hidup dengan lapisan oksigen yang tipis di pegunungan. Ternyata, mutasi tersebut terjadi kurang dari 3.000 tahun sehingga tercatat sebagai mutasi genetik tercepat pada manusia.

Dikutip dari Sciencedaily, Jumat (2/7/2010), pakar evolusi dari University of California, Rasmus Nielsen mengungkap hal itu ketika meneliti DNA dari 50 orang Tibet. Ia lalu membandingkannya dengan 40 orang dari etnis Han dari Beijing.

Sampel orang Tibet diambil dari 2 desa yang berada di ketinggian 4.300 mdpl (meter di atas permukaan laut) dan 4.600 mdpl. Seluruhnya telah mewakili sedikitnya 3 generasi yang selama hidupnya tinggal di wilayah tersebut.

Dalam penelitian tersebut Nielsen menemukan sedikitnya 30 gen yang mengalami mutasi genetik, lebih banyak ditemukan pada orang Tibet daripada orang Han. Prevalensinya lebih dari 90 persen pada orang Tibet, dan kurang dari 10 persen pada orang Han.

Berdasarkan analisis, etnis Tibet dan Han berasal dari nenek moyang yang sama. Pemisahan terjadi sekitar 2.750 tahun lalu, menjadi 2 kelompok yang menghuni pengunungan Tibet dan dataran China.

Sejak saat itu, mutasi terjadi pada 30 gen sementara 20.000 gen lainnya masih memiliki kemiripan. Meski hanya terjadi pada 30 gen, Nielsen menilai perubahan tersebut merupakan yang tercepat yang pernah diamati pada manusia.

Salah satu gen yang mengalami mutasi adalah EPAS1, yang disebut juga super athlete gen. Ketika ditemukan beberapa tahun lalu, gen tersebut banyak dikaitkan dengan peningkatan performa atlet sehingga dijuluki demikian.

Gen tersebut menentukan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan yang kekurangan oksigen. Diduga, gen tersebut mampu menyeimbangkan metabolisme yang membutuhkan oksigen (aerob) dengan metabolisme tanpa oksigen (anaerob).

Temuan ini diharapkan bisa mengungkap mekanisme tubuh dalam beradaptasi dengan oksigen yang menipis. Sebab beberapa penyakit seperti epilepsi dan schizophrenia juga sering dikaitkan dengan kondisi kekurangan oksigen saat berada di dalam kandungan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar